Tugas IBD Pandangan Hidup Tokoh Indonesia
(1)
3 Pandangan Hidup Ki Hajar Dewantara Yang Menjadi Semboyan Taman Siswa
Siapa yang tidak tahu dengan Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan di Indonesia yang telah mempelopori pendidikan untuk pribumi dari mulai penjajahan belanda ini. Ki Hajar mempelopori pendidikan dengan mendirikan sekolah dengan nama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tamana Siswa saja. Taman siswa merupakan suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
3 Pandangan Hidup Ki Hajar Dewantara Yang menjadi semboyan Taman siswasangat terkenal hingga sekarang yaitu : “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” (“di depan menjadi teladan, di tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung”). semboyan ini juga memiliki pengetian sebagai berikut :
Ing Ngarso Sun Tulodo
artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsunyang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadiseorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya.Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
Ing Madyo Mbangun Karso
Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Membangun berartimembangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadimakna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampumembangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus mampumemberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan
Tut Wuri Handayani
artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikandorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialahseseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Doronganmoral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dansemangat.
(2)
Pandangan hidup tokoh Sanshiro dalam novel Sanshiro karya Natsume Soseki : kajian sosiologi sastra
Nurul Anisa Fatmawati. 2019. Pandangan Hidup Tokoh Sanshiro dalam Novel
Sanshiro karya Natsume Soseki . Skripsi. Program Studi
Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.
Jepang memiliki cerita sejarah yang cukup panjang, salah satunya yang menarik ketika Jepang mulai membuka diri kepada negara-negara asing setelah sekitar dua abad menutup diri.
Karateristik sosial-budaya masyarakat pun lambat laun mulai berubah dengan mengikuti keadaan zaman yang dikenal dengan zaman Meiji yang pada saat itu modernisasi gencar dilakukan. Keadaan masyarakat individu juga menentukan pandangan hidup yang dibangun dalam periode sejarah yang sangat panjang dan pembentukan serta pertumbuhannya berjalan seiring dengan pembentukan dan pengembangan bentuk sosial dan budaya. Sanshiro yang baru pertama kali datang ke Tokyo, terkejut dengan keadaan Tokyo dan masyarakat Tokyo itu sendiri yang berbeda dengan apa yang dirasakannya di desa. Selama tinggal di
Tokyo, Sanshiro berusaha mempertahankan pandangan hidupnya. Dalam penelitian ini, peneliti mencari pandangan hidup Sanshiro yang berkaitan dengan etika bushido serta mengkajinya dengan kajian sosiologi sastra.
(3)
Catur Sila Khalduniyah M. Yamin
Selanjutnya untuk memahami hakikat perkembangan yang utuh dan tunggal itu Muhammad Yamin menggunakan dasar pandangan yang disebutnya «Catur Sila Khalduniyah» sebagai konsepsi filsafat. Untuk memberikan kerangka sejarah yang merupakan batang tubuh sejarah dengan landasan kebangsaan, dibuatlah oleh Muhammad Yamin periodesasi yang disebutnya «Pancawarsa». Sehubungan dengan ini hendaknya kita waspada jangan sampai unsur kebangsaan yang menjiwai sejarah nasional menimbulkan nasionalisme yang sempit, yang bersifat chauvinistis. Patutlah diperhatikan peringatan Rabindranath Tagore yang mengatakan bahwa «baik kosmopolitisme yang tiada berwarna maupun cara memperdewakan diri sendiri dari upacara kebangsaan yang bengis, tiada menjadi tujuan yang terakhir dari sejarah kemanusiaan».
Revolusi kemerdekaan yang dimulai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 disusul dengan perjuangan yang terus-menerus. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, mengalami rintangan-rintangan yang tidak ringan. Diharapkan oleh Muhammad Yamin adanya kesadaran sejarah yang tinggi bagi bangsa Indonesia yang sedang berevolusi. Kita dapat membenarkan bahwa di zaman kemerdekaan sudah sewajarnya diadakan perombakan dalam pandangan sejarah untuk menggantikan pendangan sejarah dari para sejarawan kolonial yang Neerlando-sentris dengan pandangan Indonesia-sentris.
Di dalam sejarah nasional hendaknya juga titik berat penelitian dialihkan kepada peranan dan kegiatan golongan-golongan sosial yang mempunyai pengaruh dalam aspek politis, di samping aspek-aspek sosial-ekonomis dan kurtural. Yang ditonjolkannya bukan rasa kebangsaan yang sempit atau bersifat chauvinistik. Pada hemat saya, Muhammad Yamin berfaham nasionalisme yang berpangkal kepada pendirian kebangsaan yang sehat yang memuliakan martabat manusia.
Masalah Nasionalisme
Ada baiknya di sini ditinjau dengan sekedarnya pengertian tentang «nasionalisme» itu sendiri. Banyak rumusan tentang «nasionalisme» tetapi bukan maksud saya untuk menyampaikan rumusan-rumusan yang banyak itu. Kesetiaan jang tertinggi daripada seseorang dengan demikian harus ditudjukan kepada kebangsaan, atau nasionalitasnja, karena hidupnja dianggap berakar kepadanja dan dimungkinkan olehnja. Oleh Hans Kohn dijelaskan bahwa perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisinya setempat, dan dengan penguasa-penguasa resmi di daerahnya, selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Ini berarti bahwa sebelum tercapainya bangsa, dalam pengertian negara-bangsa, sejarah suatu bangsa telah menunjukkan adanya rasa kesetiaan kepada tumpah darahnya, tradisi-tradisi, pemerintahan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain telah ada rasa nasionalitas dari bangsa itu. Masih menurut Hans Kohn, nasionalisme dalam arti modern baru ada pada akhir abad ke-18 dan menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Sedangkan nasionalisme itu sendiri, secara tradisional, sudah lama terdapat dalam sejarah umat manusia.
Nampaknya tidak ada perbantahan bahwa nasionalisme itu adalah faham kebangsaan yang mengikat suatu bangsa sebagai suatu keluarga besar, dan bahwa nasionalitas daripada bangsa itu telah lama hidup dan tumbuh dalam sejarah suatu bangsa. Sejarah Indonesia yang bercorak nasional juga memerlukan tinjauan atas dasar nasionalisme ini. Sementara itu tentang kapan lahirnya nasionalitas suatu bangsa tidak dapat dipastikan, sebagaimana kapan timbulnya proses sejarah itu. Mengenai arti dari nasionalitas dapat diikuti dari buku Sejarah dan Hankam karya Nugroho Notosusanto.
Nasionalitas2 merupakan hasil daripada kekuatan-kekuatan jang hidup dalam sedjarah dan karena itu berubah-ubah dan tidak pernah kaku. Dari kutipan di atas jelaslah bahwa nasionalitas suatu bangsa sukar dicari definisinya yang tepat, tetapi yang terpenting ialah adanya kemauan yang dimiliki bersama secara nyata. Kemauan tersebut bisa mengarahkan kepada masyarakat sejahtera, pengembangan kebudayaan, seni, politik, dan ideologi, serta bisa pula mengarah kepada pembinaan negara yang meliputi bangsanya, yaitu negara-kebangsaan . Seperti telah diterangkan di muka, nasionalisme dalam arti modern baru tumbuh di dunia pada abad ke-18.
Sedangkan di Indonesia sendiri, nasionalisme itu mulai tumbuh dan berkembang sejak tanggal 20 Mei 1908 dengan didirikannya organisasi Budi Utomo, yang kemudian ditetapkan sebagai «Hari Kebangkitan Nasional». Yang jelas ialah bahwa «a living and active corporate will» telah ada dan hidup berkembang dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Di samping itu baik kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit, keduanya pernah menguasai wilayah Indonesia yang kita anggap sebagai wilayah nasional Indonesia sekarang. Menurutnya pandangan Muhammad Yamin itu hanya sebagian saja yang benar, dengan alasan karena negara nasional haruslah didukung oleh nasionalisme dan diisi nasionalitas.
Sehingga negara nasional yang sesungguhnya barulah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Patriotisme sebagai gejala psikologis juga telah berabad-abad tumbuh dan berkembang yang disebabkan oleh adanya penindasan akibat pejajahan di tanah air Indonesia. Perlawanan-perlawanan yang timbul di Indonesia terhadap kaum penjajah, setelah VOC didirikan pada tahun 1602 dengan segala aktivitasnya, adalah perlawanan karena mempertahankan diri atas dasar cinta tanah air atau patriotisme. Gejala psikologis ini ditempa dalam jalan sejarah yang kemudian berkembang menjadi gejala historis, yaitu nasionalisme.
Maka timbullah rasa senasib, satu cita-cita, dan satu karakter yang menimbulkan keinginan bersama untuk mendirikan satu negara merdeka, yaitu negara Republik Indonesia. Jelaslah bahwa «a living and active corporate will» telah lama berakar dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Nasionalitas Indonesia telah lama tertaman dalam jiwa bangsa kita. Kesadaran nasional yang membangkitkan nasionalisme Indonesia, dengan demikian, telah tumbuh sebagai perwujudan adanya nasionalitas itu, walaupun belum meluas di kalangan rakyat pada umumnya.
Dengan perkataan lain, nasionalisme itu masih terbatas pada golongan tertentu, antara lain raja-raja, pemimpin-pemimpin agama yang berpengaruh, dan sebagainya. Kesadaran nasional rakyat Indonesia nampaknya baru tumbuh dan berkembang setelah tanggal 20 Mei 1908. Kesadaran nasional yang memang telah tumbuh sebelum itu memang masih terbatas pada golongan tertentu, dan barangkali dapat kita beri nama sebagai «kesadaran nasional feodal». Kembali kepada semangat kebangsaan yang menjiwai karya-karya sejarah Muhammad Yamin dengan sendirinya membawa akibat adanya nggapan bahwa dalam proses sejarah bangsa Indonesia terdapat ikatan yang erat antara bangsa dan negara.
Baik unsur «kebangsaan» maupun unsur «negara» amat ditonjolkan dalam konsepsi sejarahnya Muhammad Yamin. Berada bersama sebagai bangsa belum tentu berarti me-negara, misalnja kerena didjadjah oleh bangsa lain. Akan tetapi djika bangsa itu merdeka dan me-negara sudah dengan sendirinjalah kebangsaan mendjadi dasar pe-negaraan. Bangsa itu berarti kesatuan kulturil, kesatuan ekonomi, kesatuan geografi, dan kesatuan sedjarah.
Kutipan di atas mejelaskan bahwa antara «bangsa» dan «negara» erat hubungannya. Dengan melihat kepada jalan sejarah Indonesia sendiri, di mana telah lama tumbuh dan berkembang negara-negara merdeka, benarlah anggapan yang menyatakan bahwa kebangsaan Indonesia telah lama ada. Walaupun digembleng oleh pelopor-pelopor kemerdekaan Indonesia, rasa kebangsaan seperti sekarang ini tidak akan terjadi jika benih-benih kebangsaannya tidak ada. Dihubungkan dengan kutipan di atas pula bahwa «kebangsaan adalah suatu cara dari ada bersama», sedangkan «ada bersama» itu sesungguhnya dalah hidup dalam masyarakat sebagai suatu organisasi yang teratur.
Maka terdapatlah hubungan yang erat antara «bangsa» dan «negara» . Dalam konsepsi sejarah Muhammad Yamin selalu terasa adanya perpaduan erat antara «bangsa» dan «negara» itu. Ditonjolkannya unsur-unsur kebangsaan, kesatuan, dan persatuan di masa lampau dengan harapan agar di kemudian hari generasi demi generasi menghormati dan melaksanakan rasa kesatuan dan persatuan sebagai negara-bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah dan Pembangunan Bangsa
Demikianlah kita melihat pandangan Muhammad Yamin betapa besar peranan sejarah dalam membangun, memelihara, dan mengembangkan rasa kebangsaan itu. Kedua, tugas ilmu sejarah adalah menghasilkan pengetahuan yang benar tentang masa lampau masyarakat manusia dan kegiatannya. Pengetahuan sejarah yang ilmiah hanya didapat dengan penelitian sistematis-metodis secara kritis dan objektif. Sehubungan dengan itu, jauh daripada hendak menuduh bahwa karya-karya sejarah Muhammad Yamin tidak ilmiah, saya menyadari bahwa justru di bidang ilmiah tersebut terdapat kelemahan dalam karya-karya sejarahnya.
Kecenderungan ini menyebakan ia memberi kesan seperti mempunyai hati nurani yang longgar. Dengan demikian maka etos ilmiah yang keras itu telah dikorbankan kepada pragmatisme yang praktis. Ada kalanya pula terjadi perkosaan ilmiah apabila ia dalam memaksakan keinginannya itu berusaha menemukan fakta-fakta dalam sumber untuk tujuan «melampiaskan» aspirasi, ataupun emosi nasionalnya. Pernyataan itu tanpa berlandaskan penelitian yang teliti dan ilmiah.
Yang penting disini ialah tanggal 17 Agustus itu sebagai tanggal keramat, tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI. Perhitungan ini yang sepintas lalu nampak tepat sekali, sesungguhnya tidak benar. Ini berarti bahwa tanggal 5 Bhadrapala bagian kedua pada waktu bulan sedang turun yaitu tanggal 1 September 1294 M. Namun ternyata dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih itu Muhammad Yamin menghilangkan pengertian «pada waktu bulan sedang turun », dengan maksud untuk memforsir ketegasan bahwa Raden Wijaya itu naik tahta dan dinobatkan sebagai raja Majapahit pada tanggal 17 Agustus 1294 M, supaya ada kesesuaian dengan Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Walaupun begitu secara terus terang harus diakui bahwa banyak jasa Muhammad Yamin dalam kegiatan ilmiah di bidang penelitian sejarah.
Perhatian dan jiwanya yang melekat pada sejarah, kedudukannya dalam pemerintahan yang mempermudah usahanya dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, dan faktor-faktor lainnya menjadikannya sebagai seorang sejarawan yang banyak pengetahuannya tentang sejarah.
(4)
Kisah Hidup Tan Malaka
Tan Malaka adalah lulusan Kweekschool Bukittinggi. Tapi, untuk bersekolah di sana, ia sempat meminjam dana dari orang-orang sekampungnya dan mendapat bantuan dari mantan gurunya. Sebelum diusir dari Hindia Belanda, Tan Malaka juga sempat memimpin Partai Komunis Indonesia . Semasa hidupnya, Tan Malaka hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain, termasuk Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet.
Sebelum Perang Dunia II, Tan Malaka hidup dalam penyamaran sekitar Asia Tenggara. Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Saat itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen. Tan Malaka terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman.
Tan Malaka juga pernah mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak . Tan Malaka terbunuh sekitar Februari 1949. Tan Malaka tewas ditembak oleh pasukan militer Indonesia tanpa pengadilan di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949. Eksekustornya berasal dari Brigade Sikatan atas perintah petinggi militer Jawa Timur.
Tan Malaka dibunuh karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah yang bersikap moderat dan penuh kompromi terhadap Belanda. Belakangan, Presiden Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963. Pengikutnya yang paling terkenal adalah Adam Malik dan Muhamad Yamin.
(5)
MOHAMMAD HATTA
Mohammad Hatta, adalah pahlawan Indonesia. Di waktu kecil, Bung Hatta bersekolah dasar di Bukittinggi yang awalnya ditempuh secara privat. Kelas 5 sampai 7 Bung Hatta tempuh di MULO sampai tahun 1917. Bung Hatta sangat aktif dalam melaksanakan tugasnya sebagai bendahara di suatu perkumpulan pemuda Sumatera di Padang.
Di tahun 1926 Bung Hatta terpilih menjadi ketua Indoneschie Vereniging sampai tahun 1930. Bung Hatta sangat mementingka kemerdekaan Indonesia, dengan memperkenalkan perjuangan Indonesia di Eropa. Dalam perjuangannya, Bung Hatta pernah mengalami pembuangan ke Digul dan Banda Neira. Bung Hatta membacakan suatu pidato tentang cita-cita kemerdekaan Indonesia di lapangan Ikada pada 8 Desember 1942.
Jepang mengangkat Bung Hatta dan 3 Tokoh Nasional lainnya untuk memimpin Potera yang didirikan oleh Jepang. Pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 Bung Hatta bersama Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur 56. Siti Rahmiati adalah isteri Bung Hatta, yangdinikahi pada tanggal 18 November 1945 dan memperoleh tiga orang anak. Konfrensi Meja Bundar, delegasi Indonesia diketuai oleh Bung Hatta dan diadakan di Den Haag pada tahun 1949.
Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi Nasional. Pada tanggal 15 Agustus 1972 Bung Hatta menerima Bintang Republik Indonesia Kelas I di Istana Merdeka.
Komentar
Posting Komentar